Rabu, 18 Agustus 2010

Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan dengan Malpraktik Medik

Sehat merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap orang. Hingga
batas-batas tertentu, tiap orang kecuali anak-anak, mampu menjaga
kesehatannya sendiri. Mereka akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi
makanan bergizi, berolah raga secukupnya, dan sebagainya.
Persoalan akan menjadi lain ketika orang jatuh sakit yang memerlukan
pertolongan pihak lain. Bagaimanapun, kesehatan merupakan kebutuhan
pokok dalam kehidupan, sedangkan pengetahuan dan ketrampilan pasien
terbatas. Dengan demikian, pasien maupun keluarganya akan mencari
pertolongan kepada petugas kesehatan.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa / produk lainnya,
yaitu consumer ignorance / ketidaktahuan konsumen, supply induced
demand / pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (konsumen
tidak memiliki daya tawar dan daya pilih), produk pelayanan kesehatan
bukan konsep homogen, pembatasan terhadap kompetisi, ketidakpastian
tentang sakit, serta sehat sebagai hak asasi
Dalam hal ini, pasien sebenarnya merupkan faktor liveware. Pasien harus
dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir
layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat
kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan
ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.
Apa saja harapan konsumen terhadap pemberi pelayanan kesehatan Dan
kewajiban pihak sarana pelayanan kesehatan dalam memenuhi harapan
tersebut ? Harapan pasien sebagai konsumen yaitu:
· Reliability (kehandalan) : pemberian pelayanan yang dijanjikan
dengan segera dan memuaskan
· Responsiveness (daya tanggap) : membantu dan memberikan
pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (Suku,
Agama, Ras, Golongan) pasien
· Assurance (jaminan) : jaminan keamanan, keselamatan, kenyamanan
· Emphaty (empati) : komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan
konsumen / pasien
Sedangkan kewajiban pihak sarana kesehatan yaitu antara lain :
· Memberikan pelayanan kepada pasien tanpa membedakan suku, ras,
agama, seks, dan status sosial pasien
· Merawat pasien sebaik-baiknya, menjaga mutu perawatan dengan
tidak membedakan kelas perawatan
· Memberikan pertolongan pengobatan di UGD tanpa meminta jaminan
materi terlebih dahulu
· Merujuk pasien kepada rumah sakit lain apabila tidak memiliki sarana,
prasarana, peralatan, dan tenaga yang diperlukan
· Membuat rekam medis pasien rawat jalan dan inap
Saat ini, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen
kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan
tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan
diambil berkenaan dengan penyakitnya., bahkan tidak jarang mereka
mencari pendapat kedua (second opinion), Hal tersebut merupakan hak yang
selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Memang harus diakui bahwa hak-hak konsumen kesehatan masih cenderung
sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan. Dalam hal
ini, yang memprihatinkan, kekalahan tersebut bisa berupa kerugian moral
dan material yang cukup besar.
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No. 8 /
1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan
konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan
dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan selama ini hubungan antara si penderita dengan si pengobat,
yang dalam terminology dunia kedokteran dikenal dengan istilah transaksi
terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistic.
Seiring dengan perubahan masyarakat, hubungan dokter - pasien juga
semakin kompleks, yang ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistic
menuju partnership, yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter
merupakan partner dan mitra bagi pasien).
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2
sasaran pokok, yaitu :
1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha
(publik atau privat) barang dan atau jasa;
2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung
jawab
Lalu pertanyaannya, apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen, dan
pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha ?
Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan
pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu
konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan,
suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi
kesehatan
Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter)
merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 /
1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang
kesehatan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. (UU No.23/1992 tentang
Kesehatan). Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business
(kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment,
occupation, PROFESSION, or commercial activity engaged in / or gain or
livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata
pencaharian).
Selain itu, posisi bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara
lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector jasa
bisnis, seperti tampak berikut :
SEKTOR KESEHATAN :
· HOSPITAL SERVICES
· OTHER HUMAN HEALTH SERVICES
· SOCIAL SERVICES
· OTHER
SEKTOR JASA BISNIS :
A. PROFESIONAL SERVICES:
B. MEDICAL AND DENTAL SERVICES
C. PHYSIOTHERAPIST
D.NURSE AND MIDWIFE
Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan
Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan
Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan
Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku
usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak
berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya
mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut :
HAK KONSUMEN KESEHATAN
BERDASARKAN UU NO.8 / 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
· Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
· Memilih
· nformasi yang benar, jelas, dan jujur
· Didengar pendapat dan keluhannya
· Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
· Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
· Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
BERDASARKAN UU NO.23/1992 TENTANG KESEHATAN
· Informasi
· Memberikan persetujuan
· Rahasia kedokteran
· Pendapat kedua (second opinion)
KEWAJIBAN KONSUMEN
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
· Beritikad baik
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
· Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN BERDASARKAN UU NO. 23 /
1992 TENTANG KESEHATAN
KEWAJIBAN
Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
HAK
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya
Setelah kita mengetahui pengertian pasien sebagai konsumen dan dokter
sebagai pelaku usaha, kini kita menuju pada pertanyaan selanjutnya,
bagaimana hubungan hukum antara pasien dan RS, tenaga kesehatan,
sesama tenaga kesehatan beserta sengketa diantara para pihak tersebut
yang dikenal dengan malpraktek ?
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT
1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa
pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat
yang akan melakukan tindakan perawatan
2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien
bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis
(inspanningsverbintenis).
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN TENAGA KESEHATAN DI RUMAH
SAKIT
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - DOKTER
Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya
secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), jarang
merupakan resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - TENAGA KESEHATAN LAIN (ANTARA LAIN
PERAWAT)
Merupakan perikatan / kontrak, yaitu tenaga kesehatan lain itu harus
berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat
ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat berupa inspanningsverbintenis maupun
resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM DOKTER - PERAWAT
Merupakan hubungan rujukan atau delegasi
PENGERTIAN MALAPRAKTIK MEDIK
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian malapraktik medik sebagai
akibat belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun
demikian, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malapraktik / tidak
maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana
dirumuskan oleh Leenen, yaitu : berbuat secara teliti / seksama dikaitkan
dengan culpa / kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata
dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi Dan kondisi yang
sama, sarana upaya yang sebanding / proporsional (asas proporsionalitas)
dengan tujuan kongkret tindakan / perbuatan medik tersebut. Menurut
Leenen, Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran
berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik).
Selain itu, untuk mengetahui adanya unsur perbuatan malapraktik juga
dapat dilihat pada 4 - D of Negligence, yaitu : Duty, Dereliction of that duty,
Direct caution, Dan Damage
Lalu bagaimana tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam
hal ada dugaan kasus malapraktik ?
TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT
TANGGUNG JAWAB RS PEMERINTAH
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut
pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah
menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat
dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang
dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
TANGGUNG JAWAB RS SWASTA
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata
karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat
bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
TANGGUNG JAWAB MALAPRAKTIK DOKTER SECARA PIDANA
Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal
359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak
berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (HR.3 Febr. 1913)
TIGA TINGKATAN CULPA
1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius,
sembrono (gross fault or neglect)
2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979
hal. 241)
Culpa lata tidak berlaku dalam hukum perdata. Culpa levis dan Culpa
levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana dapat ditampung dalam
hukum Perdata dan hk. Disiplin tenaga Kesehatan (di Indonesia blm ada)
APAKAH KASUS ACCIDENT / RISK IN TREATMENT / ERROR IN JUDGEMENT
MERUPAKAN MALAPRAKTIK ???
Secara yuridis semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana
maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan pembuktian
berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Bila dokter
terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah
memenuhi informed consent maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas
membayar kerugian.
SARAN BAGI PENANGGULANGAN MALAPRAKTIK MEDIK
· Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang
independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas
membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga
kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik
hendaknya diatur dengan peraturan perundang-undangan dan dapat
dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.
· Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun
swasta (central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak
puas atas sikap RS maka dapat menuntut dan menggugat RS.
Pimpinan RS yang akan menetapkan siapa yang bersalah dan
melakukan “hak Regres” (hak menuntut orang yang bersalah dalam
kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan diri dengan batas
kerugian sebagai akibat gugatan pasien.
· Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan,
terutama bagi pasien
· informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi mis
interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.
Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum
dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian
ada / tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar /
salahnya suatu kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum
ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim
cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter
merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan
hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian.
Dalam hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya
Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP)
dari UU No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar
Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang
seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik
Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodir
kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review.

1 komentar: