Rabu, 18 Agustus 2010

Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan dengan Malpraktik Medik

Sehat merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap orang. Hingga
batas-batas tertentu, tiap orang kecuali anak-anak, mampu menjaga
kesehatannya sendiri. Mereka akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi
makanan bergizi, berolah raga secukupnya, dan sebagainya.
Persoalan akan menjadi lain ketika orang jatuh sakit yang memerlukan
pertolongan pihak lain. Bagaimanapun, kesehatan merupakan kebutuhan
pokok dalam kehidupan, sedangkan pengetahuan dan ketrampilan pasien
terbatas. Dengan demikian, pasien maupun keluarganya akan mencari
pertolongan kepada petugas kesehatan.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa / produk lainnya,
yaitu consumer ignorance / ketidaktahuan konsumen, supply induced
demand / pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (konsumen
tidak memiliki daya tawar dan daya pilih), produk pelayanan kesehatan
bukan konsep homogen, pembatasan terhadap kompetisi, ketidakpastian
tentang sakit, serta sehat sebagai hak asasi
Dalam hal ini, pasien sebenarnya merupkan faktor liveware. Pasien harus
dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir
layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat
kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan
ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.
Apa saja harapan konsumen terhadap pemberi pelayanan kesehatan Dan
kewajiban pihak sarana pelayanan kesehatan dalam memenuhi harapan
tersebut ? Harapan pasien sebagai konsumen yaitu:
· Reliability (kehandalan) : pemberian pelayanan yang dijanjikan
dengan segera dan memuaskan
· Responsiveness (daya tanggap) : membantu dan memberikan
pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (Suku,
Agama, Ras, Golongan) pasien
· Assurance (jaminan) : jaminan keamanan, keselamatan, kenyamanan
· Emphaty (empati) : komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan
konsumen / pasien
Sedangkan kewajiban pihak sarana kesehatan yaitu antara lain :
· Memberikan pelayanan kepada pasien tanpa membedakan suku, ras,
agama, seks, dan status sosial pasien
· Merawat pasien sebaik-baiknya, menjaga mutu perawatan dengan
tidak membedakan kelas perawatan
· Memberikan pertolongan pengobatan di UGD tanpa meminta jaminan
materi terlebih dahulu
· Merujuk pasien kepada rumah sakit lain apabila tidak memiliki sarana,
prasarana, peralatan, dan tenaga yang diperlukan
· Membuat rekam medis pasien rawat jalan dan inap
Saat ini, masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen
kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan
tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan
diambil berkenaan dengan penyakitnya., bahkan tidak jarang mereka
mencari pendapat kedua (second opinion), Hal tersebut merupakan hak yang
selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Memang harus diakui bahwa hak-hak konsumen kesehatan masih cenderung
sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan. Dalam hal
ini, yang memprihatinkan, kekalahan tersebut bisa berupa kerugian moral
dan material yang cukup besar.
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No. 8 /
1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan
konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan
dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan selama ini hubungan antara si penderita dengan si pengobat,
yang dalam terminology dunia kedokteran dikenal dengan istilah transaksi
terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistic.
Seiring dengan perubahan masyarakat, hubungan dokter - pasien juga
semakin kompleks, yang ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistic
menuju partnership, yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter
merupakan partner dan mitra bagi pasien).
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2
sasaran pokok, yaitu :
1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha
(publik atau privat) barang dan atau jasa;
2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung
jawab
Lalu pertanyaannya, apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen, dan
pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha ?
Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan
pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu
konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan,
suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi
kesehatan
Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter)
merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 /
1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang
kesehatan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. (UU No.23/1992 tentang
Kesehatan). Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business
(kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment,
occupation, PROFESSION, or commercial activity engaged in / or gain or
livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata
pencaharian).
Selain itu, posisi bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara
lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector jasa
bisnis, seperti tampak berikut :
SEKTOR KESEHATAN :
· HOSPITAL SERVICES
· OTHER HUMAN HEALTH SERVICES
· SOCIAL SERVICES
· OTHER
SEKTOR JASA BISNIS :
A. PROFESIONAL SERVICES:
B. MEDICAL AND DENTAL SERVICES
C. PHYSIOTHERAPIST
D.NURSE AND MIDWIFE
Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan
Jasa di Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan
Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan
Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku
usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak
berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya
mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut :
HAK KONSUMEN KESEHATAN
BERDASARKAN UU NO.8 / 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
· Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
· Memilih
· nformasi yang benar, jelas, dan jujur
· Didengar pendapat dan keluhannya
· Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
· Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
· Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
BERDASARKAN UU NO.23/1992 TENTANG KESEHATAN
· Informasi
· Memberikan persetujuan
· Rahasia kedokteran
· Pendapat kedua (second opinion)
KEWAJIBAN KONSUMEN
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
· Beritikad baik
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
· Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN BERDASARKAN UU NO. 23 /
1992 TENTANG KESEHATAN
KEWAJIBAN
Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
HAK
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya
Setelah kita mengetahui pengertian pasien sebagai konsumen dan dokter
sebagai pelaku usaha, kini kita menuju pada pertanyaan selanjutnya,
bagaimana hubungan hukum antara pasien dan RS, tenaga kesehatan,
sesama tenaga kesehatan beserta sengketa diantara para pihak tersebut
yang dikenal dengan malpraktek ?
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN RUMAH SAKIT
1. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa
pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat
yang akan melakukan tindakan perawatan
2. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien
bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis
(inspanningsverbintenis).
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PASIEN DAN TENAGA KESEHATAN DI RUMAH
SAKIT
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - DOKTER
Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya
secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), jarang
merupakan resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM PASIEN - TENAGA KESEHATAN LAIN (ANTARA LAIN
PERAWAT)
Merupakan perikatan / kontrak, yaitu tenaga kesehatan lain itu harus
berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat
ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat berupa inspanningsverbintenis maupun
resultaatsverbintenis.
HUBUNGAN HUKUM DOKTER - PERAWAT
Merupakan hubungan rujukan atau delegasi
PENGERTIAN MALAPRAKTIK MEDIK
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian malapraktik medik sebagai
akibat belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun
demikian, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malapraktik / tidak
maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana
dirumuskan oleh Leenen, yaitu : berbuat secara teliti / seksama dikaitkan
dengan culpa / kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata
dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi Dan kondisi yang
sama, sarana upaya yang sebanding / proporsional (asas proporsionalitas)
dengan tujuan kongkret tindakan / perbuatan medik tersebut. Menurut
Leenen, Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran
berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik).
Selain itu, untuk mengetahui adanya unsur perbuatan malapraktik juga
dapat dilihat pada 4 - D of Negligence, yaitu : Duty, Dereliction of that duty,
Direct caution, Dan Damage
Lalu bagaimana tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam
hal ada dugaan kasus malapraktik ?
TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT
TANGGUNG JAWAB RS PEMERINTAH
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes / Depkes dapat dituntut. Menurut
pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah
menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat
dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang
dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
TANGGUNG JAWAB RS SWASTA
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata
karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat
bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
TANGGUNG JAWAB MALAPRAKTIK DOKTER SECARA PIDANA
Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal
359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak
berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (HR.3 Febr. 1913)
TIGA TINGKATAN CULPA
1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius,
sembrono (gross fault or neglect)
2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979
hal. 241)
Culpa lata tidak berlaku dalam hukum perdata. Culpa levis dan Culpa
levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana dapat ditampung dalam
hukum Perdata dan hk. Disiplin tenaga Kesehatan (di Indonesia blm ada)
APAKAH KASUS ACCIDENT / RISK IN TREATMENT / ERROR IN JUDGEMENT
MERUPAKAN MALAPRAKTIK ???
Secara yuridis semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana
maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan pembuktian
berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Bila dokter
terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah
memenuhi informed consent maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas
membayar kerugian.
SARAN BAGI PENANGGULANGAN MALAPRAKTIK MEDIK
· Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang
independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas
membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga
kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik
hendaknya diatur dengan peraturan perundang-undangan dan dapat
dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.
· Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun
swasta (central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak
puas atas sikap RS maka dapat menuntut dan menggugat RS.
Pimpinan RS yang akan menetapkan siapa yang bersalah dan
melakukan “hak Regres” (hak menuntut orang yang bersalah dalam
kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan diri dengan batas
kerugian sebagai akibat gugatan pasien.
· Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan,
terutama bagi pasien
· informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi mis
interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.
Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum
dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian
ada / tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar /
salahnya suatu kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum
ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim
cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter
merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan
hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian.
Dalam hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya
Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP)
dari UU No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar
Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang
seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik
Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodir
kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review.

Hak dan Kewajiban Perawat

Oleh : M. Ilham Ismail
A. Hak Perawat
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang merupakan salah satu dari praktik keperawatan tentunya seorang perawat memiliki hak dan kewajiban. Dua hal dasar yang harus dipenuhi, dimana ada keseimbangan antara tuntutan profesi dengan apa yang semestinya didapatkan dari pengembanan tugas secara maksimal. Memperoleh perlindungan hukum dan profesi sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan salah satu hak perawat yang mempertahankan kredibilitasnya dibidang hukum serta menyangkut aspek legal atas dasar peraturan perundang-undangan dari pusat maupun daerah. Hal ini seperti dipaparkan pada materi sebelumnya sedang dipertimbangkan oleh berbagai pihak, baik dari PPNI, Organisasi profesi kesehatan yang lain, lembaga legislatif serta elemen pemerintahan lain yang berkepentingan.
Selain mendapatkan perlindungan hukum secara legal, perawat berhak untuk memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan atau keluarganya agar mencapai tujuan keperawatan yang maksimal. Jadi kepada klien dan keluarga yang berada dalam lingkup keperawatan tidak hanya memberikan informasi kesehatan klien kepada salah satu profesi kesehatan lainnya saja, akan tetapi perawat berhak mengakses segala informasi mengenai kesehatan klien, karena yang berhadapan langsung dengan klien tidak lain adalah perawat itu sendiri.
Hak perawat yang lain yaitu melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan otonomi profesi. Ini dimaksudkan agar perawat dapat melaksanakan tugasnya hanya yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang didapat berdasarkan jenjang pendidikan dimana profesi lain tidak dapat melakukan jenis kompetensi ini. Bagaimana dengan beberapa jenis kompetensi profesi yang keilmuannya hampir sama dengan keperawatan? hal ini tentunya ada perimbangan sendiri mengenai kompleksitas alur kerjasama antara perawat dan bidang profesi lainnya.
Perawat berhak untuk dapat memperoleh penghargaan sesuai dengan prestasi, dedikasi yang luar biasa dan atau bertugas di daerah terpencil dan rawan. Penulis sangat berterima kasih sekali kepada pemerintah dan masyarakat atas penghargaan yang diberikan, yaitu berupa kerja sama yang baik dari masyarakat dan sertifikat resmi dari pusat DEPKES RI Litbangkes sebagai perawat pelaksana saat bertugas di DACILGALTAS (Daerah Terpencil, tertinggal, rawan konflik dan bencana alam serta tidak diminati). Hanya saja penulis hingga saat ini masih bingung, selain sebagai pajangan dirumah kira-kira sertifikat tersebut bisa digunakan untuk apa ya?
Layaknya pegawai pemerintahan lainnya (Pegawai Negeri Sipil) perawat juga berhak memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya. Di Indonesia biasanya kita kenal dengan Asuransi Kesehatan (ASKES). Bagi pegawai negeri sipil (PNS) berhak memiliki ASKES tersebut tak terkecuali perawat yang berstasus PNS, sebagai jaminan kesehatan selama menjalani masa tugas hingga masa pensiun nantinya. Kalau dilihat dari hak perawat yang telah di tetapkan ini sepertinya belum berjalan dengan optimal. Sebenarnya hak mendapatkan perlindungan terhadap resiko kerja ini bukan hanya untuk PNS saja, tetapi untuk semua perawat yang sedang dalam masa tugasnya, misalnya saja yang berada dirumah sakit atau klinik dan balai perawatan swasta. Semestinya perawat tetap mendapatkan jaminan kesehatan baik itu dalam lingkungan pemerintahan maupun swasta, namun pada kenyataannya belum terpenuhi terutama di lingkungan swasta. Hal ini juga tergantung kebijakan dan ketentuan yang diberlakukan oleh manajemen yang memanfaatkan tenaga perawat tersebut.
Satu hal lagi yang sering terabaikan, yaitu mengenai hak perawat untuk menerima imbalan jasa profesi yang proporsional sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku. Penulis berharap agar teman-teman sejawat juga dapat mendiskusikannya disini, karena dari sekian banyak perawat yang bekerja belum tentu mendapatkan imbalan yang sesuai dengan ilmu yang diaplikasikan terhadap masyarakat. Akan tetapi jika untuk menyampaikan keluhan dengan maksud memprotes atau sejenisnya bukan disini tempatnya. Disini kita hanya mendiskusikan bagaimana mengambil langkah ke depan, sehingga tidak terjadi lagi hal yang tidak menyenangkan.
B. Kewajiban Perawat
Dalam melaksanakan praktik keperawatan perawat berkewajiban untuk memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar praktek keperawatan, kode etik, dan SOP serta kebutuhan klien atau pasien dimana standar profesi, standar praktek dan kode etik tersebut ditetapkan oleh organisasi profesi dan merupakan pedoman yang harus diikuti oleh setiap tenaga keperawatan. Perawat yang melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk merujuk klien dan atau pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemerikasaan atau tindakan. Hal ini juga tergantung situasi, jika lingkungan kita juga tidak memungkinkan maka kita sebagai perawat dapat menerangkan alasan yang tepat.
Perawat wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien dan atau pasien, kecuali untuk kepentingan hukum. Hal ini menyangkut privasi klien yang berada dalam asuhan keperawatan karena disis lain perawat juga wajib menghormati hak-hak klien dan atau pasien dan profesi lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Perawat wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Jika dalam konteks ini memang agak membingungkan, saya hanya bisa menjelaskan seperti ini, pelaksanaan gawat darurat yang sangat membutuhkan pertolongan segera dapat dilaksanakan dengan baik yaitu di rumah sakit yang tercipta kerja sama antara perawat serta tenaga kesehatan lain yang berhubungan langsung, sedangkan untuk daerah yang jauh dari pelayanan kesehatan modern tentunya perawat kebanyakan menggunakan seluruh kemampuannya untuk melakukan tindakan pertolongan, demi keselamatan jiwa klien.
Kewajiban lain yang jarang diperhatikan dengan serius yaitu menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu keperawatan dalam meningkatkan profesionalsme. Beberapa faktor-faktor yang membuat kita malas mengembangkan ilmu keperawata banyak sekali. Contoh kecil saja ketika sudah bekerja, mungkin akan berfikir bahwa ilmu pengetahuan kita akan bertambah seiring dengan pengalaman yang didapatkan dilapangan, untuk itu kita harus dapat membagi fokus kita antara belajar dan bekerja sehingga orientasi kerja juga tidak terganggu dan ilmu kita bertambah banyak. Bahkan ada yang hanya mengejar pangkat atau golongan sehingga yang dituju adalh jenjang pendidikan yang kadang-kadang tidak sesuai, misalkan yang seharusnya dari DIII keperawatan lanjut ke S1 Keperawatan tetapi beralih kejurusan lain, sekolah murah asal naik pangkat, menurut saya hal ini hanya menyemakkan ruang kerja saja yang berisi orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang seharusnya mereka miliki. Namun disisi lain, untuk mencapai jenjang pendidikan yang tinggi di bidang keperawatan membutuhkan biaya yang super tinggi pula, sehingga mereka yang mengejar pangkat tadi merasa tidak seimbang dengan apa yang akan mereka dapatkan kelak.
Jadi apa yang dimaksud disini adalah bahwa untuk meningkatkan ilmu pengetahuan tentang keperawatan bukan hanya di bangku kuliah saja, akan tetapi bisa melalui internet seperti yang anda lakukan sekarang ini, serta disisi lain kita juga perlu mengejar jenjang pendidikan karena semua itu tidak kalah pentingnya.